Kita terlalu khusyuk menyebut diri sendiri dalam doa.
Hingga lupa mendoakan semesta yang selalu santun mengabulkan
amin pada sayup langit sepertiga malam.
Ibu pernah bercerita :
“Biasanya Ibu bangun jam 2, dik. Sholat tahajud berdua sama
Bapak. Bukan di tempat sholat di dalam rumah. Tapi di Teras.”
Ah, kenapa di teras?
Lalu Ibu melanjutkan, “Semesta beserta isinya tak pernah
henti menyebut nama Allah. Sesekali sujudlah dengan santun mengecup bumi, dengan
atap langit, Sujudlah beriringan dengan desir dzikir semesta. Tenang sekali.”
Kita terlalu sibuk menyelesaikan sedekah tanpa berterima
kasih.
Hanya membuka jendela mobil dengan receh.
Lalu pergi.
Selalu lupa harusnya meminta maaf, mengurangi nominal hak
mereka demi kenyamanan jasmani kita.
Pernah suatu ketika ada seorang lelaki tidur di gardu
lapangan depan rumah.
Pakaiannya compang-camping dan ia bergumam sendiri.
Aku pun masih ingat betul, Ibu – Ibu sekitar rumah ketakutan
menutup pagar.
Ah, tapi tidak dengan seorang lelaki tegap berkulit seteduh
ranting pohon. Ia berjalan ke arah gardu membawakan sebotol air mineral. Seolah tahu, lelaki yang rebah di gardu sedang
lelah dan haus.
Dengan wajah yang begitu tenang, lelaki tegap yang setiap
hari kupanggil Bapak itu kembali masuk ke rumah.
“Ambilkan sepiring nasi beserta lauk dan sayurnya. Mas yang
di gardu lapar katanya. Tadi Bapak tawarin makan langsung bilang mau.”
Bapak kembali lagi ke gardu.
Ah aku masih bisa mendengar waktu itu apa yang dikatakan
oleh Bapak.
“Ini ayo dimakan, maaf hanya ada lauk dan sayur seperti ini.
Kalau kurang, bilang saja sama Bapak, nanti diambilkan lagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar