Jumat, 12 September 2014

Abaya Untuk Suami

10 Juli 2014

Senja sedang merona memandang ruang tamu, tempat dua keluarga sedang berkumpul.
Matahari yang akan segera dijemput malam, seolah ikut menjatuhkan cinta pada dua insan yang dua bulan lagi akan menyempurnakan agama di depan penghulu. Isra terlihat bersahaja mengenakan kemeja kotak-kotak dengan kombinasi warna biru dan putih gugup menyampaikan maksud kedatangannya di rumah calon istrinya, Maryam. Ia terlebih dahulu menyapa dan meminta ijin kepada orang tua Maryam dengan berkata, "Pak, Bu, kedatangan saya beserta Umi sore ini karena ingin bertanya langsung kepada Maryam mengenai suatu hal tentang seserahan." Pandangan Isra begitu mantap tetapi tetap santun memandang calon mertua secara bergantian. Tapi tatapan itu mendadak menjadi gugup dan lumpuh hanya dalam dua detik saat memandang Maryam.
Perempuan yang duduk tepat di depan Isra itu hanya menyembunyikan senyum dan matanya dalam tunduk, tampak begitu bersinar dengan kerudung berwarna merah muda yang lembut. Bapak Maryam pun menjawab, "Silakan Isra, tanyakan saja langsung kepada Maryam." Isra terdiam sejenak mengendalikan degup jantungnya, menata tiap untai kata yang akan disampaikan kepada perempuan yang akan menjadi istrinya, " Maryam, aku sedikit kebingungan untuk memilihkan seserahan untukmu. Aku takut tidak sesuai dengan seleramu. Terlebih mengenai pakaian. Kamu ingin yang seperti apa? Aku ingin kamu bahagia saat memakainya."
Maryam dengan kepala yang tetap tertunduk malu itu pun dengan suara lembut dan tegas menjawab, "Untuk pakaian aku ingin abaya dengan dominasi warna hitam, mas."  "Sudah itu saja? Kamu ingin perhiasan dan mukena yang bagaimana? Atau ada permintaan lain, Maryam?", tanya Isra yang masih ingin memastikan keinginan Maryam. "Iya, selebihnya aku percaya kepada pilihan mas Isra. Insha Allah, aku bahagia dengan menggunakan pilihan dari suamiku", jelas Maryam yang diakhiri dengan senyum dan pandangan satu detik kepada lelaki dihadapannya itu.

12 September 2014

Hari ini adalah hari ke dua Isra dan Maryam menjalani hidup sebagai suami istri. Isra mengajak Maryam menikmati senja dengan melihat pameran lukisan di balai kota. Ini adalah senja pertama yang mereka nikmati dengan pergi ke luar rumah. Maryam mengenakan abaya hitam pemberian suaminya. Saat sedang duduk menikmati sekotak ice cream, Isra sejenak memandang istrinya yang begitu cantik dan anggun dengan balutan warna hitam. Ada rasa penasaran yang tersimpan saat Isra memilihkan abaya hitam sesuai pemintaan kekasih hatinya itu. "Sayang, boleh aku bertanya? Mengapa kami meminta abaya hitam?", tanya Isra sambil mengusap punggung tangan Maryam.
Perempuan yang dulu tak berani menjatuhkan pandang lebih lama dari dua detik itu menatap Isra dengan penuh binar dan berkata, "Sebelumnya, terima kasih sudah memilihku menjadi istrimu. Buat seorang istri, suami ialah surganya. Tempatnya menuangkan segala ibadah. Aku ingin selalu mengenakan abaya warna hitam jika bepergian.
Terlihat sopan, menjaga agar tak ada pandangan lain yang lebih lama menatapku dari pada kamu, mas." Isra tak bisa menahan pecahan kaca di matanya yang bening. Ia menggengam tangan istrinya, lalu menciumnya. "Terima kasih, mencintaiku sebagai surgamu, Maryam." Matahari tenggelam pada pangkuan langit maghrib. Bersamaan dengan kecup Isra yang jatuh pada kening Maryam.

Sabtu, 05 Juli 2014

Untuk Surga dan Bidadari

Semesta dan segenap keluarga Masha mengucapkan :

“Selamaat menunaikan tanggal 5 Juli untuk Mas Pena yang Genit (eh Genic sih) dan kekasih dunia akhiratnya Mas Pen yaituuu Mbak Vitaa yang namanya diimutkan menjadi Mbak Nyit.”


Sebelum aksaraku lebih cerewet lagi mengaluun, mari bersulang dengan sirup Marjan karena Bulan Ramadhan biasanya diskonan dan bonusnya Blendeer Penasonic. 

SELAMAAAAATTT PAPIH MAMIH :*

Delapan tahun tangan kalian saling menggenggam menghangatkan cinta suci berlapiskan janji di hadapan Allah. 
Sewindu yang lalu, semesta mengijinkan Mas Pen dan Mbak Nyit untuk memulai perjalanan hidup yang baru bernama Pernikahan. 
Separuh agama Mas Pen dilengkapi oleh Allah melalui kehadiran bidadari secantik Mbak Nyit.

Pernikahan selalu saja membawa kaca-kaca haru yang pecah di bening kedua mata. 
Ketika kening seorang perempuan yang baru saja di-sah-kan menjadi seorang istri, lembab oleh kecup-kecup suaminya.
Tentang pernikahan, aku suka sekali membayangkan bahwa suami adalah surga dan istri adalah bidadari. Bidadari yang melengkapi separuh keindahan surga. 
Bidadari yang menempati surga itu dan memilih untuk mencintai suaminya sebagai sebuah ibadah. 


Mas Pen adalah Surga dan Mbak Nyit adalah Bidadari. Daaaann Ayiiiin adalah malaikaat kecill yang menggemaaaskaaan.


Selamaat Berbahagia. Barokallaaahh untuk kehidupan Surga Pernikahan Mas Pen dan Mbaak Nyittt. 

Minggu, 01 Juni 2014

Tentang Lupa

Kita terlalu khusyuk menyebut diri sendiri dalam doa.
Hingga lupa mendoakan semesta yang selalu santun mengabulkan amin pada sayup langit sepertiga malam.
Ibu pernah bercerita :
“Biasanya Ibu bangun jam 2, dik. Sholat tahajud berdua sama Bapak. Bukan di tempat sholat di dalam rumah. Tapi di Teras.”
Ah, kenapa di teras?
Lalu Ibu melanjutkan, “Semesta beserta isinya tak pernah henti menyebut nama Allah. Sesekali sujudlah dengan santun mengecup bumi, dengan atap langit, Sujudlah beriringan dengan desir dzikir semesta. Tenang sekali.”
Kita terlalu sibuk menyelesaikan sedekah tanpa berterima kasih.
Hanya membuka jendela mobil dengan receh.
Lalu pergi.
Selalu lupa harusnya meminta maaf, mengurangi nominal hak mereka demi kenyamanan jasmani kita.
Pernah suatu ketika ada seorang lelaki tidur di gardu lapangan depan rumah.
Pakaiannya compang-camping dan ia bergumam sendiri.
Aku pun masih ingat betul, Ibu – Ibu sekitar rumah ketakutan menutup pagar.
Ah, tapi tidak dengan seorang lelaki tegap berkulit seteduh ranting pohon. Ia berjalan ke arah gardu membawakan sebotol air mineral.  Seolah tahu, lelaki yang rebah di gardu sedang lelah dan haus.
Dengan wajah yang begitu tenang, lelaki tegap yang setiap hari kupanggil Bapak itu kembali masuk ke rumah.
“Ambilkan sepiring nasi beserta lauk dan sayurnya. Mas yang di gardu lapar katanya. Tadi Bapak tawarin makan langsung bilang mau.”
Bapak kembali lagi ke gardu.
Ah aku masih bisa mendengar waktu itu apa yang dikatakan oleh Bapak.
“Ini ayo dimakan, maaf hanya ada lauk dan sayur seperti ini. Kalau kurang, bilang saja sama Bapak, nanti diambilkan lagi.”


Jumat, 18 April 2014

Senyum Di Balik Punggung

Hangat yang terangkum dalam secangkir teh, menjelma selimut
Mendekap perih yang diteduhkan bintang-bintang semesta

Di bawah langit pukul 01.00 malam,
kembali aku berbincang dengan langit
Peraduan yang kupilih untuk menina-bobokan ronta luka yang masih nyaman tinggal di relung

Telapak tangan  memeluk cangkir berisi panas aroma teh
Kubiarkan hangat menjalar pada ruas jari,
hingga masuk ke jiwa menenangkan perih yang masih gigil

Mungkin memang benar
Mencintai itu buta
Hingga mata tak mampu melihat ada senyum lain
Tersungging kepada kekasih di balik punggungku


Sabtu, 08 Maret 2014

Pentas Senandung Rindu

Langit menggelar malam yang pekat
Mata semesta tertuju pada beranda rumah joglo
Tempat kakiku rebah di atas lantai merah yang beruban
Tak ada lampu kota yang silau
Alam menanti pentasku dalam gelap
Riuh tepuk tangan terdengar sebagai desir daun-daun pohon
Memenuhi kursi penonton
Aku gemetar dalam senandung rindu

" Rindu menjelma sebagai karbondioksida kekasih
  yang kuhirup sebagai senyawa oksigen. Tak pernah habis. "


  

Minggu, 09 Februari 2014

Tujuh Hati Rupawan

Terduduk di kursi taman rumahku
Berpayung langit cerah tergambar senyum haru
Pikirku melayang pada rupa tawa
Yang dilukis Tuhan di atas tujuh wajah

Aku pernah bertanya dalam sunyi pada gigil musim dingin
Tentang hangat cinta yang dirindukan hatiku
Tuhan menuntun langkah kakiku yang pincang
Membawanya kepada pertemuan
Dengan tujuh hati yang rupawan
Para pemilik mata yang menatap lembut  pada kerasnya hidup
Tuan dan Nyonya atas tawa-tawa yang menumpulkan duri-duri luka

Siang ini, bibirku gemetar mengucap doa
Menitipkan rasa syukur kepada semesta
Bahwa Tuhan, menciptakan tujuh malaikat
Yang terbungkus oleh hangat kulit manusia

Surat Untuk Lelakiku

Pada masanya, kau akan datang
Tak hanya sekedar bertandang
Namun akan menetap sebagai  Imam
Pada sepetak surau sederhana dalam hatiku

Ada senandung cinta yang ingin kuceritakan
Bahwa, sebelum kau datang
Ada seorang lelaki
Yang peluhnya kujadikan kilau lampu surauku
Seorang lelaki
Yang gurat keningnya
Kujadikan sajadah, tempat kecupku berserah
Seorang lelaki, dengan seluruh debar cinta kusebut Ayah

Bibirku tak pernah selesai mengucap cinta padanya
Kata-kata selalu kalah dengan haru air mata
Aku tak pernah sanggup mengatakan, tak pernah.
Cintaku pada Ayah
Diam – diam kulabuhkan pada selembar kain
Yang menutup indah atas kepalaku

Kelak, ketika kau lepas kainku
Kau akan mencium kehormatan surga Ayah yang kujaga

Serta kening kupantaskan untuk kau kecup