Minggu, 01 Juni 2014

Tentang Lupa

Kita terlalu khusyuk menyebut diri sendiri dalam doa.
Hingga lupa mendoakan semesta yang selalu santun mengabulkan amin pada sayup langit sepertiga malam.
Ibu pernah bercerita :
“Biasanya Ibu bangun jam 2, dik. Sholat tahajud berdua sama Bapak. Bukan di tempat sholat di dalam rumah. Tapi di Teras.”
Ah, kenapa di teras?
Lalu Ibu melanjutkan, “Semesta beserta isinya tak pernah henti menyebut nama Allah. Sesekali sujudlah dengan santun mengecup bumi, dengan atap langit, Sujudlah beriringan dengan desir dzikir semesta. Tenang sekali.”
Kita terlalu sibuk menyelesaikan sedekah tanpa berterima kasih.
Hanya membuka jendela mobil dengan receh.
Lalu pergi.
Selalu lupa harusnya meminta maaf, mengurangi nominal hak mereka demi kenyamanan jasmani kita.
Pernah suatu ketika ada seorang lelaki tidur di gardu lapangan depan rumah.
Pakaiannya compang-camping dan ia bergumam sendiri.
Aku pun masih ingat betul, Ibu – Ibu sekitar rumah ketakutan menutup pagar.
Ah, tapi tidak dengan seorang lelaki tegap berkulit seteduh ranting pohon. Ia berjalan ke arah gardu membawakan sebotol air mineral.  Seolah tahu, lelaki yang rebah di gardu sedang lelah dan haus.
Dengan wajah yang begitu tenang, lelaki tegap yang setiap hari kupanggil Bapak itu kembali masuk ke rumah.
“Ambilkan sepiring nasi beserta lauk dan sayurnya. Mas yang di gardu lapar katanya. Tadi Bapak tawarin makan langsung bilang mau.”
Bapak kembali lagi ke gardu.
Ah aku masih bisa mendengar waktu itu apa yang dikatakan oleh Bapak.
“Ini ayo dimakan, maaf hanya ada lauk dan sayur seperti ini. Kalau kurang, bilang saja sama Bapak, nanti diambilkan lagi.”